kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.561.000   59.000   2,36%
  • USD/IDR 16.802   8,00   0,05%
  • IDX 8.585   -61,06   -0,71%
  • KOMPAS100 1.186   -11,81   -0,99%
  • LQ45 849   -10,77   -1,25%
  • ISSI 307   -1,83   -0,59%
  • IDX30 437   -3,43   -0,78%
  • IDXHIDIV20 510   -2,95   -0,57%
  • IDX80 133   -1,59   -1,18%
  • IDXV30 138   -0,57   -0,42%
  • IDXQ30 140   -0,82   -0,59%

GAGASAN: Swasembada atau Ketergantungan


Selasa, 23 Desember 2025 / 14:57 WIB
GAGASAN: Swasembada atau Ketergantungan
ILUSTRASI. Trubus Rahadiansyah, Pengamat Kebijakan Publik dan Guru Besar Universitas Trisakti

KONTAN.CO.ID - Swasembada atau Ketergantungan: Ternyata Sawit Harga yang Harus Dibayar Demi Kemerdekaan Bangsa

Dalam kebijakan publik, tidak pernah ada pilihan yang sepenuhnya bersih, tanpa biaya, dan tanpa pengorbanan. Mengharapkan hasil terbaik tanpa konsekuensi adalah ilusi. Setiap keputusan strategis negara selalu menuntut trade-off. Pertanyaannya bukan apakah ada pengorbanan, melainkan pengorbanan mana yang paling kecil dengan hasil yang paling besar bagi daya tahan bangsa.

Indonesia hari ini berada di persimpangan itu. Setelah berhasil mencapai swasembada beras tingkat nasional pada 2025, tantangan berikutnya jauh lebih kompleks: swasembada energi dan pangan di setiap pulau, bahkan di tingkat desa. Bagi negara kepulauan seperti Indonesia, ketahanan tidak cukup diukur secara nasional. Dalam situasi krisis—perang, bencana besar, atau gangguan logistik global—kemampuan memindahkan pangan dan energi antar-pulau bukan sesuatu yang bisa diasumsikan aman dan selalu tersedia.

Bangsa yang kuat adalah bangsa yang bisa bertahan secara lokal. Data menunjukkan kenyataan yang tidak bisa dihindari. Jawa, Sumatera, dan Sulawesi relatif aman secara pangan. Kalimantan dan Papua belum. Di sektor energi, hampir semua pulau mengalami defisit BBM. Papua berada pada posisi paling rentan: konsumsi tinggi, produksi sangat terbatas, dan ketergantungan logistik yang ekstrem. Dalam kondisi normal, kerentanan ini dapat ditutup melalui distribusi. Dalam kondisi krisis, ia berubah menjadi titik lemah strategis.

Di sinilah perdebatan mengenai “tanam sawit di Papua” sering kali salah konteks, pernyataan Presiden Prabowo Subianto terkait sawit di Papua kerap dibaca seolah negara sedang mendorong pembabatan hutan secara besar-besaran. Padahal isu ini lebih tepat dipahami sebagai bagian dari diskursus ketahanan energi. Perdebatan publik sering kali dibingkai seolah pilihannya hanya antara lingkungan atau pembangunan, padahal pilihan yang sebenarnya jauh lebih mendasar: apakah Papua ingin dipersiapkan menuju kedaulatan energi, atau terus berada dalam kondisi ketergantungan yang rapuh.

Perlu ditegaskan, tanam sawit bukan kebijakan utama, apalagi satu-satunya. Prioritas Papua justru harus jelas dan tidak terbantahkan, yakni menurunkan konsumsi energi fosil melalui elektrifikasi, pemanfaatan truk listrik untuk pertambangan dan logistik besar, serta pengembangan PLTA dan PLTS. Ini adalah jalur paling ideal dan paling bersih. Tidak ada perdebatan di situ.Namun kebijakan publik tidak boleh berhenti pada skenario ideal.

Dalam perencanaan ketahanan nasional, negara wajib menyiapkan opsi cadangan untuk menghadapi situasi terburuk: ketika pasokan BBM terganggu, ketika distribusi antar-pulau terhambat, dan ketika impor tidak lagi dapat diandalkan. Dalam kondisi seperti itu, ruang pilihan menyempit drastis.

Sawit, dengan segala kontroversinya, adalah satu-satunya sumber energi nabati yang secara teknis, ekonomis, dan skala produksi sudah siap digunakan hari ini. Indonesia telah memiliki jutaan hektar sawit dengan tingkat produktivitas tinggi. Secara nasional, potensi biodiesel sawit bahkan mampu menopang kebutuhan solar Indonesia. Di Papua, luas sawit yang telah ada pun menyimpan potensi signifikan untuk menopang kebutuhan energi lokal, apabila dikelola secara tepat. Apakah ini tanpa pengorbanan? Tentu tidak.

Setiap pengembangan sawit membawa risiko lingkungan, sosial, dan tata kelola. Itu fakta yang tidak bisa disangkal. Namun alternatif dari menolak opsi ini juga membawa pengorbanan yang tidak kalah serius: ketergantungan energi kronis, kerentanan ekstrem saat krisis, serta melemahnya posisi strategis bangsa. Ketergantungan bukanlah kondisi netral; ia adalah kerugian strategis jangka panjang. Di sinilah kebijakan yang bijak diuji.

Kebijakan yang bijak bukanlah kebijakan yang bebas dari pengorbanan, melainkan kebijakan yang meminimalkan pengorbanan sambil memaksimalkan hasil. Tanam sawit untuk kepentingan swasembada energi—dengan batasan ketat, lokasi terkontrol, perlindungan ekologis, serta penghormatan terhadap hak masyarakat adat—adalah contoh kebijakan semacam itu. Ia bukan solusi sempurna, tetapi solusi paling rasional dalam spektrum pilihan yang tersedia.

Jika pilihan yang dihadapi adalah antara pengorbanan lingkungan yang dikelola secara ketat dan terukur, atau pengorbanan kedaulatan energi yang bersifat permanen, maka negara yang bertanggung jawab harus berani memilih yang pertama. Bukan karena sawit adalah pilihan ideal, tetapi karena ketahanan bangsa tidak boleh disandarkan pada harapan bahwa krisis tidak akan datang.

Sejarah menunjukkan, krisis selalu datang. Yang bertahan adalah bangsa yang menyiapkan dirinya, meski harus membayar harga yang tidak nyaman. Dalam konteks itulah, kebijakan tanam sawit untuk swasembada energi seharusnya dibaca: bukan sebagai ambisi ekonomi, melainkan sebagai investasi ketahanan nasional.

Ditulis oleh Trubus Rahadiansyah, Pengamat Kebijakan Publik dan Guru Besar Universitas Trisakti

Selanjutnya: Pelayaran Nelly Dwi Putri (NELY) Tetap Bidik Laba Rp 100 miliar Hingga Akhir 2025

Menarik Dibaca: Promo Alfamart Kebutuhan Dapur 16-31 Desember 2025, Beli 1 Gratis 1 Kaldu Sedaap

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Reporter: Native Team
Editor: Indah Sulistyorini

TERBARU
Kontan Academy
Mitigasi, Tips, dan Kertas Kerja SPT Tahunan PPh Coretax Orang Pribadi dan Badan Supply Chain Management on Practical Inventory Management (SCMPIM)

×