KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia ditunjuk sebagai presidensi G20 dan diharapkan mampu berkontribusi lebih besar bagi pemulian ekonomi dunia dan membangun tata kelola dunia yang lebih sehat, lebih adil dan berkelanjutan. Untuk itulah sejumlah agenda akan dibicarakan dengan 19 negara anggota lainnya plus negara Uni Eropa untuk menciptakan solusi global.
Mengusung tema “Recover Together, Recover Stronger”, Indonesia akan berfokus pada tiga hal utama yakni penanganan kesehatan yang inklusif, transformasi berbasis digital dan transisi menuju energi berkelanjutan. Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia pun memetakan hal yang krusial dan amat penting untuk melancarkan sejumlah agenda.
Nantinya akan mengerucut pada bahasan pada tiga topik inti, yakni masalah kesehatan, perubahan iklim dan pembiayaannya, serta pentingnya perpajakan internasional. Tiga ini jadi fokus diantaranya banyaknya diskusi yang akan dilakukan sepanjang gelaran G20.
Mengangkat tema Recover Together, Recover Stronger, Indonesia memiliki peran penting dalam pengambilan kebijakan global. Pada aspek kesehatan, Indonesia akan mendorong penyebaran merata tingkat vaksinasi ke negara berkembang dan negara miskin.
Febrio Kacaribu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan menyebut bakal ada pembahasan mekanisme mengenai kesiapan global menghadapi pandemi ke depan. Oleh karenanya, Indonesia perlu menggalang kekuatan bersama negara anggota G20 dengan tingkat perekonomian yang lebih dari 80% perekonomian dunia untuk bersatu.
Salah satunya berkaitan dengan vaksinasi yakni harus ada pemerataan diantara negara-negara di dunia. Pemerataan ini penting karena bila hanya negara-negara maju saja yang melakukannya maka pandemi tidak mungkin tuntas. Oleh karena itu, distribusi vaksin perlu digencarkan juga ke negara-negara berkembang dan miskin agar tingkat vaksinasi global bisa merata.
“Tidak mungkin recover kalau tidak bersama, banyak negara dengan vaksinasinya sudah cukup tetapi satu negara di afrika vaksinasinya tidak cukup, kemudian lahir varian baru. seperti sekarang omicron, tidak mungkin kita tak recover together,” kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu di webinar KONTAN Presidensi G20, Manfaat bagi Indonesia dan Dunia, Senin (6/12/2021).
Dar sisi perubahan iklim, dirinya menyebut bahwa saat ini Indonesia menawarkan proyek-proyek yang real mengenai green energy. Pendekatan Indonesia saat ini adalah dengan melakukan pendekatan market dan memperkenalkan harga bagi karbon. Sehingga nantinya karbon, gas rumah kaca dan polutan lainnya memiliki harga.
Mulai dari Presidensi G20 di Italia telah disepakati dua pilar. Pilar pertama terkait bahwa negara pasar dari perusahaan multinasional, walaupun dia tidak punya eksisting Badan Usaha Tetap (BUT) di negara tersebut, harusnya negara pasar mempunyai hak untuk memajaki perusahaan-perusahaan yang sifatnya multinasional. Itu sudah disepakati dan akan ditandatangani di presidensi G20 Indonesia pada Juli 2022. Ini menjadi milestone untuk hak pemajakan dari negara pasar.
Selanjutnya pilar kedua akan mengatur tentang minimum pengambilan pajak atau minimum tax rate. Harapannya, selama ini perusahaan yang berusaha menghindari pajak dengan pergi ke negara-negara tertentu untuk mendapatkan pajak yang lebih murah.
Saat ini pemerintah telah mengeluarkan pajak karbon hal ini memiliki korelasi dengan COP26, Paris Agreement, Kyoto Protocol yang merupakan komitmen mayoritas negara di dunia untuk menghasilkan carbon credit. Pembiyaan terhadap mitigasi penurunan emisi di bagian dunia merupakan hal yang wajib dilakukan bagi pihak penyebab polusi.
“Indonesia punya target penurunan emisi sebesar 29% pada tahun 2030 mendatang sesuai Paris Agreement untuk bisa menurunkan emisi karbon di sektor kehutanan serta energi dan transportasi. Dari sektor-sektor tersebut saja sebanyak 97% dari target penurunan emisi kita bisa tercapai,” ujarnya.
Oleh karena itu, proyek-proyek yang real dan tangible perlu ditawarkan dan tidak hanya retorika oleh karena itu negara-negara dengan komitmen kuat tentu akan menerapkan ini. Karena perubahan iklim ini merupakan kepentingan bersama secara global dan hanya dengan bersama-sama pihaknya bisa melakukan transisi ke green economy secara adil dan terjangkau.
Doddy Budi Waluyo, Deputi Gubernur Bank Indonesia menyebut akan kembali mengangkat pembahasan mata uang digital atau Central Bank Digital Currency (CBDC) secara lebih serius. Sebab, akan ada beberapa risiko yang berdampak serius terhadap makro ekonomi jika tidak diantisipasi, dan isu ini juga akan banyak diangkat serta mendapat dukungan dari berbagai negara lain yang akan turut hadir.
Hal ini penting untuk didiskusikan bersama karena risiko utama jika tidak diantisipasinya keberadaan mata uang digital termasuk keharusan adanya rupiah digital adalah tidak terdatanya dengan baik aliran uang yang berada di masyarakat. Tanpa adanya monitor yang kuat, akan sulit melihat pergerakannya, karena aliran uang bergerak sangat cepat.
Sementara itu, jika aliran uang itu tidak terdata dengan baik, maka dipastikannya akan sangat berpengaruh terhadap pola permintaan atau konsumsi masyarakat, khususnya berkaitan dengan inflasi. Di sisi lain, banyak negara dengan mata uang digital ini juga telah berpengaruh terhadap efektivitas pengendalian aliran modal, khususnya yang berkaitan dengan capital flows management.
“Kalau tekanan kepada nilai tukar itu sangat-sangat tinggi terpaksa harus CFM. Tapi kalau aliran dana modalnya itu melalui digital currency tanpa ada tekanan ke nilai tukar pun sudah menyulitkan bank sentral,” jelas Dody.
Maka dari itu, dirinya menekankan, selama Presidensi G20 pada 2022 nanti, BI bersama dengan otoritas lainnya akan menekankan pentingnya pembahasan CBDC ini agar lebih konkret lagi. Lebih detail dibicarakan agar ke depan cross border mata uang digital ini bisa diatur dan diawasi.
“Jadi kami coba masuk soal bagaimana desainnya, platformnya, bagaiman adari sisi business proccesnya dan CBDC dalam konteks operasional itu semua kita angkat. Kalau hanya lihat makronya tetapi tidak praktikal operasional ya pasti akan berbeda jadi kita mencoba bagaimana interlinkingnya,” tambahnya.
Disamping agenda CBDC ini, dirinya kembali mengingatkan bahwa Presidensi G20 ini merupakan momentum bagi negara-negara perekonomian terbesar di dunia untuk berbagi pengalaman mengenai strategi exit dari pandemi. Termasuk juga memberikan kesepemahaman bahwa setiap kebijakan yang dilakukan negara-negara besar akan memiliki imbas terhadap negara tetangganya.
Oleh karena itu,Presidensi G20 ini nantinya akan menciptakan komitmen bersama utnuk bersama-sama melewati masa pandemi. Sebab, banyak pihak yang memiliki ketakukan bahwa pandemi akan meningkatkan proteksionisme antar negara demi menjaga kepentingan nasionalnya. Dengan pemahaman bersama ini nantinya akan memiliki implikasi yang baik kepada negara-negara lainnya.
“Signifikansi dari Presidensi G20 adalah bagaimana menyeimbangkan kepentingan banyak negara, memang untuk mencapai kesepakatan itu tidak mudah. Tetapi kami yakin bagaimana negara maju bisa perhatikan negara berkembang sesuai kesepakatan,” tutup Doddy.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Editor: Ridwal Prima Gozal