KONTAN.CO.ID - Kudus, 27 April 2024 - Kaya akan nilai-nilai budaya Nusantara yang telah diwariskan oleh para leluhur, kota ini, yang terkenal sebagai pusat industri rokok kretek, memelihara sebuah kekayaan tak ternilai: Caping Kalo. Seiring dengan laju perubahan zaman, peran Caping Kalo semakin menyusut. Kini, keberadaannya hanya tampak pada momen-momen khusus dan berfungsi sebagai aksesori tambahan yang dipasangkan pada busana adat wanita Kudus. Penurunan penggunaan Caping Kalo yang semakin nyata mengancam kelangsungannya. Hanya dua pengrajin Caping Kalo yang masih setia menjaga tradisi pembuatannya hingga saat ini, dan ini menjadi catatan penting tentang risiko punahnya keahlian ini.
Ikut berkontribusi dalam pelestarian Caping Kalo, Nojorono Kudus telah berusaha memulihkan popularitasnya melalui seni tari. Dengan menggandeng Didik Ninik Thowok, seorang maestro tari Indonesia yang namanya telah merambah ke kancah internasional, Tari Cahya Nojorono dibentuk dengan cermat untuk menyatukan kekayaan budaya Kudus dengan warisan nilai Nojorono Kudus Bersatu, Berdoa, Berkarya, dan Cipta, Karsa, Rasa, Cahya yang menggambarkan makna sejati dari Nojorono itu sendiri. Tari Cahya Nojorono disajikan dengan gemilang, disempurnakan dengan kehadiran Caping Kalo yang tidak hanya memperindah gerakan tari, melainkan juga menguatkan identitas warisan budaya khas Kudus.
Dibagi menjadi tiga bagian yang terperinci, Tari Cahya Nojorono menjadi sebuah pertunjukan yang kaya akan filosofi. Pada segmen pertama, gerakan tari menampilkan petani tembakau yang tengah bersiap untuk panen, lengkap dengan Caping Kalo sebagai atribut, sembari mereka berdoa. Kemudian, tarian menggambarkan gerakan melingkar yang menyatukan para petani, merepresentasikan kesatuan dalam memilih daun tembakau terbaik. Atribut daun berwarna hijau tidak hanya menggambarkan pilihan daun yang akan dipanen, tetapi juga mencerminkan ketajaman intuisi para petani dalam memilih daun terbaik.
Di segmen kedua, gerakan tarian yang gesit mengayunkan daun-daun menampilkan dinamika proses tantangan musim dalam kesiapan daun tembakau sebagai bahan baku utama hingga siap diolah. Segmen ini ditutup dengan penampilan seorang penari yang menggambarkan tokoh Krisna muda. Krisna muda muncul dengan menggunakan topeng, menggambarkan makna penolakan terhadap identitas dan ego individu untuk berharmoni dengan nilai-nilai yang diwariskan oleh Nojorono Kudus.
Saat memasuki segmen ketiga, Krisna muda melanjutkan representasi dari konsep Bersatu dan Berdoa. Dia membawa sebuah bola yang melambangkan hasil kerja, atau Berkarya, yang memberikan cahaya bagi mereka yang menghargainya.
Para penari yang terlibat dalam koreografi Tari Cahya Nojorono adalah karyawan dari Nojorono Kudus yang telah mendapatkan pelatihan langsung dari Didik Ninik Thowok, seorang maestro tari ternama. Formasi penari dalam pertunjukan ini terdiri dari tiga dan dua penari, menggambarkan tahun berdirinya Nojorono Kudus pada tahun 1932. Pertunjukan ditutup dengan formasi penari terakhir, yang terdiri dari empat belas dan sepuluh penari, mewakili tanggal dan bulan resmi didirikannya Nojorono Kudus, yaitu pada tanggal 14 Oktober.
"Mayoritas penari adalah pemula, mereka melalui proses audisi yang ketat dan dinilai langsung oleh seorang maestro tari yang sudah dikenal luas. Tantangan untuk mengekspresikan gerakan yang gemulai dan anggun dalam koreografi yang sarat makna filosofis Nojorono Kudus merupakan sebuah ujian besar bagi setiap penari. Kami telah menjalani pelatihan yang intensif di bawah bimbingan Mas Didik, mengulang dan menyempurnakan setiap gerakan berkali-kali lipat. Pengalaman ini telah memberikan kami bekal berharga yang akan selalu terkenang," ujar Robertus Ipong Sumantri, salah satu penari, saat ditemui dalam sesi latihan awal.
Arief Goenadibrata, Direktur PT Nojorono Tobacco International, mengungkapkan, "Indonesia memiliki kekayaan budaya yang luar biasa. Ini adalah tanggung jawab bersama kita untuk menjaga kelestariannya. Nojorono Kudus berkomitmen untuk memberdayakan siapa pun yang tertarik mempelajari warisan sejarah khas Kudus, seperti Caping Kalo. Kami berharap Tari Cahya Nojorono ini akan menjadi sebuah mahakarya yang indah dan dapat dianggap sebagai kontribusi Nojorono dalam menjaga kelestarian budaya Indonesia."
Melalui empat bulan yang dipenuhi dengan latihan yang intensif dan harmonisasi antara para penari terpilih, Tari Cahya Nojorono bertujuan untuk menjadi sumber inspirasi bagi seluruh lapisan masyarakat, dari berbagai usia, dengan harapan dapat membangkitkan semangat setiap individu untuk menjaga dan melestarikan warisan budaya. Sesuai dengan filosofi yang mendasarinya, yaitu Cipta, Karsa, Rasa, dan Cahya, Tari Cahya Nojorono mengisahkan sebuah perjalanan kehidupan manusia yang dijalani dengan penuh dedikasi, menghembuskan jiwa dalam setiap karya yang dihasilkan, dan selalu menjadi sumber cahaya yang menghangatkan hati banyak orang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Editor: Ridwal Prima Gozal